Rabu, 29 September 2010

aeroponik

Jika sebelumnya ada sistem menanam dengan hidroponik kini para petani sayuran mulai diperkenalkan dengan sistem aeroponik. Dari asal kata aero yang artinya udara. Sistem ini menggunakan udara sebagai media utama. Didukung dengan semprotan (pengkabutan) air yang dicampur dengan nutrisi tanaman.

Deni Afrizal seorang petani penangkar benih dari Agritex Tasa Nusantara Cikole Lembang yang menerapkan sistem ini akhir tahun 2008 lalu. Walaupun menurut Deni sistem ini sudah sejak lama dilakukan negara-negara maju.

Untuk mengadopsi sistem ini Deni bekerjasama dengan Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa). Sistem ini diterapkannya untuk tanaman kentang. Kenapa kentang? Karena dibandingkan komoditi sayuran lainnya permintaan pasar terhadap kentang cukup tinggi.

"Kalau mau menggunakan  sistem aeroponik harus diterapkan pada tanaman unggul karena investasi aeroponik tidak sedikit," ujar Deni ditemui di stand Balitsa Agriexpo 2009 Graha Manggala Siliwangi, Kamis (28/5/2009).

Sistem aeroponik lebih menguntungkan. Dari sisi ekonomi aeroponik bisa menekan biaya produksi. Sebab jika menggunakan media tanah untuk proses sterilisasi tanah harus disteam selama 8-12 jam. Untuk proses tersebut membutuhkan bahan bakar minyak tanah yang tidak sedikit. "Harga minyak tanah kan mahal otomatis akan berpengaruh pada harga jual kentang," ucap Deni.

Selain efisiensi waktu, hasil dari sistem ini cukup menggembirakan. Jika sebelumnya hanya menghasilkan 3-5 umbi per pohon dengan aeroponik bisa menghasilkan 10 kali lipatnya. Hal itu terjadi karena sistem ini memungkinkan bibit tidak terserang penyakit ular tanah. Selain itu bibit yang digunakan kultur jaringannya didapatkan dari Balitsa yang sudah membebaskan kultur jaringan dari virus.

Menurut Mastur, Staff Balitsa, metode aeoroponik ini masih relative baru sehingga belum diperkenalkan secara menyeluruh pada para petani. Transfer teknologi dinilainya sering lambat karena seringkali terhambat oleh birokrasi.

BANDUNG, (PRLM).- Usaha produksi pembenihan kentang di Jawa Barat kini memiliki peluang mengatasi kendala ketersediaan lahan dan keterbatasan benih kentang, setelah sistem pembudidayaan melalui aeroponik berhasil dilakukan.
Menurut Kepala Dinas Tanaman Pangan Jabar, H. Endang Suhendar, teknik menerapkan sistem perbanyakan dengan cara aeroponik mampu menghasilkan produksi benih sampai sepuluh kali lipat dan pertama kali dilakukan di Indonesia.
Dikatakan, melalui teknik aeroponik, panen benih kentang memperoleh hasil rata-rata di atas tiga puluh knol/tanaman. Sementara pembenihan konvensional umumnya menghasilkan tiga knol/tanaman dari umur pembenihan yang sama selama sembilan puluh hari.
Produksi pembenihan kentang secara aeroponik merupakan penumbuhan tanaman pada lingkungan udara/kabut tanpa menggunakan tanah atau agregat media. Cara ini dilatarbelakangi kendala utama penangkar dalam produksi benih kentang, yang sering kesulitan memperoleh lahan yang memadai dan dalam keadaan steril untuk memproduksi benih tingkat G0 (benih induk).
"Perbanyakan benih kentang secara aeroponik diharapkan dapat direspons oleh para penangkar benih. Apalagi, usaha produksi kentang di Jabar saat ini masih mengalami kendala utama yaitu masih belum mencukupinya jumlah benih," ujar Endang didampingi Kepala Balai Pengembangan Benih Kentang (BPBK), Kec. Pangalengan, Kabupaten Bandung, Wandi.
Pada sisi lain, kata dia, produksi kentang Jabar yang rata-rata mencapai 1,1 juta ton/tahun, ternyata belum mencukupi kebutuhan konsumen dalam negeri. Kondisi ini membuat pasokan kentang masih harus didatangkan secara impor sampai 40.000 ton/tahun, yang secara teori seharusnya dapat diatasi jika produksi pembenihan dapat terpenuhi sendiri.
"Karena perbanyakan benih kentang kini sudah dapat dilakukan secara aeroponik, proses produksinya pun dapat dilakukan kapan saja. Benih ini lebih terjamin kemurniannya dan terbebas hama dan penyakit," ujar Endang. (A-81/A-147)*